Zainuddin : Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku. Kau patahkan. Kau minta maaf…?
Hayati :
Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman,
kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini.
Zainuddin
: Demikianlah perempuan, ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walau
pun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu
besarnya.
Zainuddin
: Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh Ninik Mamakmu karena
saya asalnya tidak tentu, orang hina, tidak tulen Minangkabau, ketika itu kau
antarkan saya di simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanganku
berapapun lamanya, tapi kemudian kau berpaling ke yang lebih gagah kaya raya,
berbangsa, beradat, berlembaga, berketurunan, kau kawin dengan dia.
Kau
sendiri yang bilang padaku bahwa pernikahan itu bukan terpaksa oleh paksaan
orang lain tetapi pilihan hati kau sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta
Hayati.. 2 bulan lamanya saya tergeletak di tempat tidur, kau jenguk saya dalam
sakitku, menunjukkan bahwa tangan kau telah berinai, bahwa kau telah jadi
kepunyaan orang lain. Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati?
Zainuddin
: Kau pilih kehidupan yang lebih senang, mentereng, cukup uang, berenang di
dalam emas, bersayap uang kertas. Siapakah di antara kita yang kejam Hayati?
Siapa yang telah menghalangi seorang anak muda yang bercita-cita tinggi
menambah pengetahuan tetapi akhirnya terbuang jauh ke Tanah Jawa ini, hilang
kampung dan halamannya sehingga dia menjadi anak yang tertawa di muka ini
tetapi menangis di
belakang layar.
Tidak
Hayati, saya tidak kejam. Saya hanya menuruti katamu. Bukankah kau yang meminta
dalam suratmu supaya cinta kita itu dihilangkan dan dilupakan saja, diganti
dengan persahabatan yang kekal. Permintaan itulah yang saya pegang teguh
sekarang. Kau bukan kecintaanku, bukan tunanganku, bukan istriku. Tetapi janda
dari orang lain.
Maka itu
secara seorang sahabat, bahkan secara seorang saudara saya akan kembali teguh
memegang janjiku dalam persahabatan itu sebagaimana teguhku dahulu memegang
cintaku. Itulah sebabnya dengan segenap ridho hati ini kau ku bawa tinggal di
rumahku untuk menunggu suamimu, tetapi kemudian bukan dirinya yang kembali
pulang, tapi surat cerai dan kabar yang mengerikan.
Maka itu
sebagai seorang sahabat pula kau akan ku lepas pulang ke kampungmu, ke tanah
asalmu, tanah Minangkabau yang kaya raya, yang beradat, berlembaga, yang tak
lapuk
dihujan, tak lekang dipanas.
Ongkos
pulangmu akan saya beri. Demikian pula uang yang kau perlukan. Dan kalau saya
masih hidup, sebelum kau mendapat suami lagi Insya Allah kehidupanmu selama di
kampung akan saya bantu.
Hayati:
Saya tidak akan pulang. Saya akan tetap di sini bersamamu. Biar saya kau
hinakan. Biar saya kau pandang sebagai babu yang hina. Saya tak butuh uang
berapa pun banyaknya. Saya butuh dekat dengan kau, Zainuddin. Saya butuh dekat
dengan kau..
Zainuddin:
Tidak. Pantang pisah berbuah dua kali. Pantang pemuda makan sisa. Kau mesti
pulang kembali ke kampungmu. Biarkan saya dalam keadaan begini. Jangan mau
ditumpang hidup saya
Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
No comments:
Post a Comment