Kembali Ke Laman Utama

Monday, October 12, 2009

IBNU TAIMIYYAH

Sejarah ummat Islam selalu dihiasi oleh prestasi-prestasi yang agung dalam segala bidang pengetahuan dan kesusasteraan. Begitu juga sejarah Islam tidak pernah sepi dari kisah-kisah pembaharu di lahan pemikiran. Apabila kita lihat sepintas lalu dalam khazanah pustaka Islam, realiti itu dapat tergambar begitu jelas. Di antara para pemikir dan ulama besar itu adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mempunyai prestasi gemilang yang membawa pengaruh besar dalam transformasi pemikiran Islam di zamannya, bahkan jangkauannya ke depan hingga berpengaruh pula kepada generasi pembaharu sesudahnya.

 Lahir di Harran, 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awal 661), keluarganya dikenal sangat berpengetahuan. Ayahnya bernama Abdul Halim, dan ayah saudaranya adalah Majduddin, seorang pengikut mazhab Hambali yang memiliki sejumlah karya. Ibnu Taimiyah ketika berusia 17 tahun, telah diberi kebenaran oleh Mufti al-Maqdisi untuk memberikan fatwa (keputusan hukum). Namun pada saat yang sama ia menolaknya. Ia tak mampu mengikut dirinya sendiri dengan berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa. Untuk kedua kalinya pada tahun 1300 M itu, pasukan Mongol mengancam. Maka Ibnu Taimiyah menggerakan penduduk untuk berjihad melawan pasukan Mongol. Ketika itu Ibnu Taimiyah bertempur dalam gabungan pasukan Suriah-Mesir dan berhasil memenangkan pertempuran. Akhirnya pasukan Mongol terpukul mundur. Dan kemenangan pertempuran itu tidak lepas dari peran Ibnu Taimiyah yang berhasil menghentikan laju pasukan Mongol.

Namun prestasinya dibidang perjuangan maupun ijtihad, tidak selamanya berjalan lancar. Sikapnya yang keras dan radikal membuat ia harus berhadapan dengan Sultannya sendiri, dan akhirnya dipenjarakan, dengan sejumlah tuduhan. Diantarannya Ibnu Taimiyah dituduh memiliki sifat antropomorfik (sifat manusia yang dikaitkan dengan bukan manusia atau tidak manusiawi). Toh, ia belum sempat membela diri, langsung dijebloskan ke penjara. Namun setelah dibebaskan, ia memutuskan tinggal di Kairo. Namun karena kritiknya yang tajam terhadap pandangan hidup sufisme di Mesir, ia dipenjarakan oleh Sultan Baibar al Jashankir, kemudian diasingkan ke Aleksandria dan dikenakan tahanan rumah. Setelah tujuh bulan ia bebas, Ibnu Taimiyah kembali berdakwah di Kairo. Sultan Nasir Muhammad bin Qaawun sering berkonsultasi dan menjadikan sebagai penasihat pribadi.

Tahun 1313, ancaman Mongol muncul kembali, namun pasukan itu mundur sebelum bertempur. Ibnu Taimiyah mengajar kembali, setelah Sultan mengirimnya kembali ke Damaskus, 28 Pebruari 1313. Tahun 1318 Sultan mengirim surat kepadanya agar ia tidak berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan mazhab Hambali. Namun Ibnu Taimiyah menolak mentaati Sultan dan akhirnya meringkuk kembali di penjara di sebuah benteng di Damaskus selama lima bulan 18 hari. Dan kemudian dibebaskan oleh Sultan Nasir 9 Pebruari 1321. Penahanan terakhir Taimiyah terjadi ketika fatwa-fatwanya soal ziarah kubur ditentang oleh masyarakat ketika itu. Ia ditahan bersama muridnya termasuk Ibnu Qayyim al Jauzuyah, tahun 1326.

Ditengah pro dan kontra atas sejumlah ijtihad dan fatwa-fatwanya, ia memiliki kebesaran ditengah para ulama, generasi sepeninggalnya, dengan tiga keutamaan: pertama, Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama yang sangat tekun, disiplin dalam ijtihad, dan punya minat besar di bidang pengetahuan, disamping menjauhi kehidupan yang santai. Kedua, ia sangat terbuka dengan lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, hidupnya tidak bersifat egois, terpaku hanya pada bidang pengetahuan saja. Ketiga, ia terkenal sebagai ulama yang punya kecerdasan luar biasa. Konsisten dalam berpikir dan produktif. Beliau tergolong salah seorang ulama yang sangat produktif dalam karya ilmiahnya. Karyanya kurang lebih mencapai 4 ribu naskah, yang mencapai 300 jilid, bahkan ada yang mengatakan sampai 500 jilid.

Kitabnya yang populer adalah Ar-Radd alal Manthiqiyyin (kontra Terhadap Kelompok Logika) merupakan salah satu dari karyanya yang terkenal. Bahkan seandainya hanya kitab ini saja yang lahir dari karyanya, niscaya sudah cukup untuk mengangkatnya sebagai ulama besar dan pemikir. Sebab, kitab tersebut berpengaruh luas hingga kepada generasi sesudahnya. Kitab ini merupakan antitesis terhadap pola pikir kefilsafatan Yunani secara keseluruhan. Pemikir Yunani yang terkenal dengan logika matematiknya telah mempengaruhi cara berpikir ummat manusia, bahkan telah mengimbas pula terhadap kebangkitan Eropa modern. Namun Ibnu Taimiyah tidak gentar menghadapi pemikiran Yunani yang dianggapnya justru menyesatkan itu.

Kitab Ibnu Taimiyyah ini sebanding dengan karya Al Ghazali dalam Tahafutul Falasifah. Jika Al Ghazali menghantam tradisi pemikiran filsafat Yunani dari segi pemikiran Aristoteles atau logika Yunani pada umumnya, dan memasukkan pola logika ini dalam pemikiran Islam. Kemudian membangun paradigma dalam karyanya, dengan maksud agar ulama Islam mengetahui tentang struktur logika Yunani pada zamannya. Akan tetapi, Ibnu Taimiyah lebih radikal lagi, ia tidak menginginkan logika tersebut sebagai paradigma maupun salah satu proposisi dalam pemikiran Islam, baik sebagai sumber, metode atau tujuan. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya itu, membangkitkan semangat berpikir Islami dengan cara membangun logika Islam secara murni.

Ironisnya, kitab Ibnu Taimiyah tersebut tidak tercetak, kecuali pernah dicetak hanya sekali di India, sehingga menjadikannya naskah yang langka. Betapa besar pengaruhnya manakala kitab tersebut dapat tersebar di seluruh dunia dan dinikmati oleh kalangan pemikir muslim. Diantara karya-karyanyayang terkenal dan tersebar luas adalah Al Hisbah wamasuliyatul Hukumah al Islamiyah, Al Ikhtiyaratul Fiqhiyat, Kitabul Imam, Kitab at-Tawasul wal Wasilah, Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ahmad Ibnu Taymiyah, Majmu;atu Rasaili Kubro, Al-qawaidun Naraniyah, As-Siyasah asy-Syar'iyah fi Ishlahir Ra'i war-Ra'yah, dan sebagainya.

No comments:

Post a Comment

Baca Artikel Lain

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...